Sejarah Awal Berdirinya Desa Wonorejokulon
Sejarah berdirinya Desa Wonorejokulon berkaitan hubungannya dengan makam Ketiboyo dan petilasan Sabdopalon Noyogenggong yang berada di Desa Wonorejokulon.
Sejarah dimulai dari riwayat babat mataram islam yang dipimpin oleh Panembahan Senopati. Terdapat seorang abdi dalem kerajaan mataram islam bernama Kertiboyo atau masyarakat menyebutnya Ketiboyo. Singkat cerita ketika Panembahan Senopati diangkat dan dinobatkan menjadi raja mataram, para punggawa abdi kerajaan dan tumenggung kerajaan diberi tugas dan wewenang untuk menjelajah ke seluruh penjuru wilayah kekuasaan kerajaan. Tujuannya adalah untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan serta memperluas pengaruh kerajaan.
Sampailah Ketiboyo pada suatu wilayah di dataran rendah yang masih berupa hutan belantara yang belum berpenghuni. Di hutan tersebutlah Ketiboyo memutuskan untuk babat alas dan menempati wilayah tersebut bersama kerabat-kerabatnya. Kemudian pada wilayah tersebut didirikanlah sebuah desa dengan nama Wonorejo. Kata "wono" memiliki arti hutan sedangkan kata "rejo" berartikan makmur dengan mengandung maksud sebuah harapan desa ini menjadi sumber kemakmuran dan kehidupan yang mewujudkan warganya menjadi sejahtera.
Adapun kisah Sapdopalon Noyogenggong bermula saat masuknya islam ke tubuh kerajaan Majapahit. Sapdopalon merupakan salah satu penasehat di dalam kerajaan. Ketika sang Prabu yakni Brawijaya masuk islam, sapdopalon bersama sang Prabu dan seorang patih bernama Patih Logender mengembara ke penjuru wilayah pulau Jawa. Pada perjalanannya mereka bertiga berpisah. Kemudian Sapdopalon memilih tempat pemberhentian dan persinggahan yang tak lain adalah tempat yang menjadi tempat singgahnya Ketiboyo. Kemudian pada tempat singgah tersebut dibuatlah petanda kenang-kenangan yang kelak kemudian tempat tersebut menjadi petilasan Sapdopalon.
Tonton di YouTube klik di sini
Lokasi Makam Ketiboyo yang menjadi cikal bakal desa Wonorejo ini memiliki keistimewaan. Menurut cerita warga setempat, pernah dahulu wilayah desa ini dilanda bencana banjir yang cukup parah. Namun ajaibnya, lokasi dan sekitar area pemakaman ini tidak terendam sama sekali.
Selain karena areal makam tersebut merupakan makam tokoh pendiri desa Wonorejo, terjadinya berbagai hal yang tak biasa di makam ini menjadikan masyarakat meng-keramatkan dan merawat benar-benar area makam tersebut. Masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan sebutan makam mbah jimat. Sebutan tersebut disematkan karena menurut cerita, banyak orang yang ketika ziarah di makam ini mendapatkan cinderamata berupa pusaka keris dan lain semacamnya yang masyarakat desa biasa menyebutnya dengan jimat.
Warga Desa Wonorejokulon dan sekitarnya pula sering menziarahi makam ini sebagai wujud bakti pada sang pendiri wilayah. Masyarakat sekitar juga rutin mengadakan ziarah dan doa bersama pada waktu-waktu tertentu, seperti pada hari Jumat kliwon dan ketika hendak memiliki hajatan. Syukuran adat merti desa yang diadakan setahun sekali pada bulan Muharram/Suro juga dilaksanakan di areal makam ini.
Makam ini menjadi tujuan destinasi wisata religi atau wisata spiritual bagi beberapa peziarah. Tak hanya warga lokal setempat, sering kali peziarah datang dari berbagai daerah bahkan dari luar pulau jawa. Makam ini menjadi aset dan cagar budaya yang dilestarikan oleh pemerintah desa Wonorejokulon.
Desa Wonorejo ini pada awal berdirinya lebih luas dari luas desa Wonorejokulon yang ada pada saat ini. Hal tersebut ditengarahi karena dahulu seiring berjalannya waktu, desa terpecah menjadi beberapa wilayah dan memiliki pemimpin masing-masing. Pecahan wilayah tersebut kelak kemudian menjadi desa yang saat ini menjadi desa-desa yang berada di sekitar Desa Wonorejokulon.
Selain kisah berdirinya Desa Wonorejokulon dan makam Ketiboyo, ada beberapa informasi tambahan yang terkait dengan sejarah dan keistimewaan desa ini. Salah satunya adalah hubungannya dengan peristiwa banjir yang pernah melanda wilayah tersebut. Meskipun daerah sekitar makam Ketiboyo terletak di dataran rendah, yang rentan terhadap banjir, terdapat fenomena yang menarik. Saat banjir melanda desa, area sekitar makam tetap terjaga dan tidak terendam air. Hal ini dianggap sebagai berkah dan keajaiban, sehingga masyarakat setempat sangat menghormati dan menjaga area makam dengan baik.
Selain itu, makam Ketiboyo juga menjadi pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan di Desa Wonorejokulon. Setiap tahun, masyarakat setempat dan peziarah dari berbagai daerah mengadakan ziarah dan doa bersama di makam ini. Acara-acara keagamaan seperti merti desa yang diadakan setahun sekali pada bulan Muharram/Suro juga dilaksanakan di area makam ini. Hal ini mencerminkan pentingnya nilai-nilai keagamaan dan budaya dalam kehidupan masyarakat Desa Wonorejokulon.
Selain menjadi tujuan wisata religi, Desa Wonorejokulon juga memiliki potensi wisata alam dan budaya lainnya. Wilayah sekitar desa ini kaya akan keindahan alam dengan hutan-hutan yang masih terjaga. Pengunjung dapat menikmati keindahan alam, trekking, dan kegiatan lainnya yang terhubung dengan alam. Selain itu, adat dan budaya lokal juga menjadi daya tarik, termasuk kesenian tradisional dan upacara adat yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Sebagai bagian dari upaya pelestarian cagar budaya, Pemerintah Desa Wonorejokulon telah melakukan berbagai langkah. Mereka telah mengadakan penggalian sejarah dan dokumentasi untuk mengumpulkan informasi tentang asal-usul desa dan kebudayaan yang ada. Selain itu, pengelolaan dan pemeliharaan makam Ketiboyo dan petilasan Sabdopalon menjadi tanggung jawab pemerintah desa dan masyarakat setempat.
Dengan sejarahnya yang kaya dan keunikan budayanya, Desa Wonorejokulon diharapkan terus berkembang sebagai tujuan wisata yang menarik bagi wisatawan religi lokal maupun mancanegara. Pemerintah dan masyarakat setempat terus berupaya menjaga, melestarikan, dan mempromosikan kekayaan sejarah dan budaya desa ini agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Adapun jejak riwayat kepala desa yang pernah menjabat di Desa Wonorejokulon, paling terdahulu yang diketahui adalah kepemimpinan kepala desa sedak tahun 1940 an hingga sekarang.
- Den Nganten (1935)* menjabat 10 Tahun
- Cokro (1946)* menjabat 2 Tahun
- Wiryo Sumarto (1948)* menjabat 5 Tahun
- Marto Wirono (1952)* menjabat 35 Tahun
- Sudasman (1987) menjabat 7 Tahun
- Suparno (1994) menjabat 18 Tahun
- Ponijan (2013) menjabat 6 Tahun
- Agus Zuhri H (2019 s.d. sekarang).
*Tahun dengan Perkiraan
Narasumber : Tokoh Masyarakat Desa Wonorejokulon
Disclaimer: Artikel bersumber dari cerita warga setempat. Dapat dimungkinkan terdapat perbedaan versi cerita dan kronologi sejarah.
Jika anda memiliki informasi untuk melengkapi artikel ini, beri saran dan masukan di kolom komentar.
Komentar baru terbit setelah disetujui Admin